Petris Pontoh, seorang aktris MTV ternama tiba-tiba harus menanggalkan ketenarannya dan membanting setir menjadi seorang penyanyi dangdut disebuah organ tunggal keliling. Anda tentu masih ingat dengan skenario sebuah film lokal tersebut. Ya, anda tidak salah itu adalah potongan cerita yang ada didalam film "Mendadak Dangdut" yang dibintangi oleh Titi Kamal. Dalam film itu diceritakan bagaimana perjuangan seorang artis populer berjuang melawan ego keartisannya ketika ia harus berhadapan dengan realitas.
Bagaimana seandainya saya menganalogikan kisah tersebut dan kemudian menyematkannya dalam kehidupan beragama kita saat ini?
Dalam hitungan beberapa hari lagi, umat Islam diseluruh dunia akan menyambut datangnya bulang Ramadhan, bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Semua orang bergembira, bersuka cita tidak terkecuali kita, umat muslim yang ada ditanah air. Berbagai persiapan pun dilakukan untuk menyambut sang bulan suci.
Apa sesungguhnya makna puasa bagi kita? Apakah ia hanyalah sebentuk ritual menahan lapar seharian penuh yang wajib dilakukan secara rutin dalam konteksnya untuk mencari pahala yang sebanyak-banyaknya? Kemudian setelah itu kita menangisi dan meratapi serta berharap bertemu lagi ketika ia pergi seiring dengan bergantinya bulan. Singkat kata ia datang, kita jalankan sebagai kewajiban, setelah itu pergi dan kita kembali kekehidupan kita masing-masing. Seolah tidak berbekas. Kita seolah-olah shock dan kaget. Masjid-masjid tiba-tiba penuh sesak oleh jamaah yang ingin melaksanakan ibadah shalat tarawih berjamaah yang hanya berlabel sunnah. Banyak orang tiba-tiba menjadi dermawan dengan berbagai motif. Lihatlah stasiun-stasiun TV, berbagai program pun mulai digelar untuk menyambut bulan ramadhan. Sebetulnya tidak ada yang aneh, saya pun sama sekali tidak bermaksud sinis memvonis bahwa apa yang dilakukan oleh media-media seperti yang saya contohkan adalah sebuah kesalahan. Tetapi mengapa frekuensi itu hanya akan lebih tinggi saat bulan ramadhan tiba saja? Kenapa simbol keimanan kita dramatisir didepan Tuhan? Kenapa kita seolah-olah kaget dengan perputaran waktu yang saat ini menunjuk bulan ramadhan dalam kalendernya? Aktris-aktris yang biasanya tampil glamour, tiba-tiba tampil dengan busana yang serba islami. Mereka yang jarang mengucapkan kalimat-kalimat Allah tiba-tiba fasih mengucapkan seruan kebaikan dan amal. Ustad dan ustadzah dadakan bermunculan, mereka tampil musiman hanya berdakwah pada bulan ramadhan saja. Dzikir-dzikir berjamaah digelar dimana-mana, acara menangis dan merintih mengharap ampunan Allah didepan ditelevisi digelar tanpa kenal waktu. Singkatnya kita semua "mendadak saleh".
Rupanya, wahyu yang berbunyi bahwa "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa" hanya diartikan secara skriptual. Lalu apa yang terjadi? Kesadaran yang terbangun hanya lah sebuah kesadaran semu untuk menjalankan ibadah dan mendapatkan pahala. Kesadaran itupun akan musnah seiring berakhirnya bulan Ramadhan itu sendiri. Ternyata semangat kefithrian justru dianggap sebuah kemenangan dan akhir dari perjuangan melawan hawa nafsu, bukan sebaliknya dijadikan sebagai latihan untuk menghadapi sebelas bulan berikutnya.
Ada apa ini? Kenapa kesalehan hanya ditunjukkan saat Ramadhan tiba saja? Ramadhan yang kita jalani terasa kering, hampa tanpa makna. Ramadhan ibarat hanya sebuah rutinitas tahunan, yang kita jalankan karena kewajiban sebagai umat muslim. Sepeninggal bulan Ramadhan semua kembali kepada rutinitasnya masing-masing. Tempat-tempat hiburan malam dibuka lebar-lebar, acara-acara tak mendidik distasiun-stasiun tv ditayangkan silih berganti, ceramah-ceramah keagamaan perlahan-lahan dikurangi karena dianggap tidak komersil dan tidak mendatangkan profit. Simbol-simbol kesalehan mulai dilupakan, kita kembali berjudi dengan realitas dan melupakan dogma-dogma agama yang terlalu mengawang-awang.
Saya teringat sepenggal syair lagu yang dilantunkan oleh alm. Chrisye bersama Ahmad Dani.Jika surga dan neraka
Tak pernah ada
Masihkah kau
Sujud kepada-Nya...
Hidup ibarat hukum ekonomi. Perbuatan baik dibalas pahala dan perbuatan buruk dibalas dosa. Setelah itu nanti diperhitungkan untung ruginya secara akumulatif, untuk kemudian disimpulkan bahwa kita ada diposisi yang mana diakhirat nanti. Bagaimana seandainya apa yang kita lakukan itu salah, dan ternyata tidak ada hitung-hitungan surga dan neraka? Masih maukah kita berpuasa, menjalankan rukun iman, rukun Islam dan berbagi bentuk kesalehan lainnya? Seperti syair diatas, masihkah kita mau sujud kepadaNya? Ataukah lupakan saja surga dan neraka. Mari kita menikmati hidup tanpa aturan, tanpa batasan dan bebas yang sebebas-bebasnya. Seperti analogi diatas, ternyata kita terjebak oleh keadaan yang mewajibkan kita untuk mendadak saleh. Kita dipaksa untuk berdamai dengan keadaan dan melupakan keseharian kita untuk sementara.Sadar ataupun tidak, itulah realitas. Tinggal bagaimana kita memperlakukan bulan ramdahan yang kebetulan mampir dikehidupan kita untuk kesekian kalinya. Semoga saja kita ikhlas dan menjadikan Ramadhan sebagai tonggak awal kesalehan dan bukan sebaliknya hanya menjadi kamuflase sementara sekedar menghormati ayat-ayat Tuhan yang tertulis dalam mahzab-mahzab Al Quran.
Wallahu alam Bissawab
No comments:
Post a Comment