Wednesday, November 26, 2008

WMO : Gas Rumah Kaca Capai Rekor Tinggi pada 2007

Republika Online
Rabu, 26 November 2008

JENEWA--Gas rumah kaca di atmosfir terus naik pada 2007, dengan konsentrasi karbon dioksida mencapai tingkat rekor baru, demikian pernyataan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Selasa.

Jumlah paling akhir yang disiarkan di dalam Greenhous Gas Bulletin 2007 WMO memperlihatkan karbon dioksida mencapai 383,1 bagian per juta (ppm), naik 0.5 persen dari 2006.

Konsentrasi nitrou oxide juga mencapai rekor tinggi pada 2007, naik 0,25 persen dari tahun sebelumnya, sedangkan methane naik 0,34 persen, melampaui nilai tertinggi yang sejauh ini tercatat pada 2003.

Dengan menggunakan indeks gas rumah kaca NOAA Annual, dampak pemanasan total semua gas rumah kaca yang berumur panjang dihitung telah naik sebesar 1,06 persen dari tahun sebelumnya dan sebesar 24,2 persen sejak 1990, kata WMO dalam suatu pernyataan.

Kegiatan manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan pertanian, adalah pembuang utama gas tersebut, yang diakui banyak ilmuwan sebagai pengendali perubahan iklim dan pemanasan global.
Setelah uap air, empat gas utama rumah kaca di atmosfir adalah karbon dioksida, methane, nitrous oxide dan chloro fluoro carbon (CFC).

Menurut data WMO, tingkat CFC terus turun secara perlahan, yang dapat dipandang sebagai pesan baik.
Itu memperlihatkan keberhasilan yang terus dicapai oleh Protokol Montreal untuk mengurangi buangan bahan perusak ozon, kata WMO.

[+/-] Selengkapnya...

Kamali Beach dan Tragedi Ruang Publik

Kota adalah simbol peradaban. Tinggi rendahnya sebuah peradaban manusia bisa dilihat dari takaran kompleksitas fisik dan struktur sosial sebuah kota. “City air makes you free,” cetus pepatah Jerman kuno. Ini karena kota adalah artefak terbesar dari aspirasi budaya manusia. Tempat mimpi beradu dan ambisi hidup bebas bersaing.
Artikel ini aku tulis karena motivasi setelah melihat fakta tentang peradaban kota yang sering aku baca. Bolehlah iseng-iseng menterjemahkan berbagai konsep dan teori dan melihat kondisi real dan fakta yang ada dilapangan.
Pembahasan ini aku mulai dengan sebuah istilah “Ruang Publik”. Mengapa Ruang publik? Karena ditempat inilah terjadi peleburan multi dimensi yang berpotensial memunculkan adab kehidupan yang baru dari sebuah masyarakat. Atau dengan kata lain, sejatinya disanalah masyarakat menyatu dan mewujudkan diri dalam sebuah komunitas. Menurut Marco Kusuma Wijaya, Ruang Publik atau yang sering juga diistilahkan dengan Public Space, adalah tempat orang bertemu sesama warga, saling bergaul dan mewujudkan diri mereka sebagai tubuh kolektif masyarakat. Selain itu juga, ruang publik juga berfungsi untuk mereproduksi adab kehidupan bersama dan membahas masalah-masalah bersama.
Dalam tradisi hidup berkota (Being Urban), ”Ruang Publik adalah elemen terpenting dalam peradaban kota. Ia menjadi wadah lahirnya kerekatan sosial yang bisa membawa kota menuju masyarakat madani atau Civil Society. Dalam sejarahnya, seperti diwacanakan Habermas, ruang publik atau ”Offentlichkeit” ini menjadi wadah dari institusi kelas menengah yang punya pengaruh kuat dalam proses revolusi sosial.

Ruang Publik sejatinya adalah ruang demokratis tempat bertemunya semua khalayak. Ia milik semua orang. Ia menjadi tempat manusia bertoleransi terhadap perbedaan. Ia menjadi di tempat manusia berlatih menghadapi kejutan-kejutan sosial. Pada puncaknya, toleransi pluralisme pada ruang publik ini akan mendorong lahirnya konsepsi Public Domain, yaitu wacana tempat kita mendiskusikan ruang publik atau bertukar pikiran antar grup sosial yang berbeda. Media publik seperti halnya koran, televisi dan ruang maya di internet, kemudian menjadi sarana dalam bernegosiasi di ruang publik tadi. Syaratnya, Public Domain ini haruslah independen.
Pantai Kamali, bagi masyarakat Kota Bau-Bau pada khususnya dan masyarakat Buton pada umumnya tentu sangat mengenal tempat yang satu ini. Saat ini ia seakan-akan telah menjadi simbol bagi Kota Bau-Bau. Pantai Kamali adalah merupakan hasil reklamasi pantai yang berada dipesisir pantai Kota Bau-Bau (depan istana ilmiah). Secara teoritis ia dapat dimasukkan kedalam kategori Ruang Publik. Status dan fungsinya tentu tidak berbeda jauh dengan Losari Beach ataupun Kendari Beach di Makassar dan Kendari.
Faktanya adalah Ruang Publik ternyata berpotensi membentuk strata ekonomi secara sengaja ataupun tidak. Atau dengan kata lain, pada kenyataannya munculnya ruang-ruang publik telah melegitimasi dan memaksa kelompok-kelompok masyarakat tertentu menjadi kelompok terpinggirkan ataupun dimarginalkan.

Hadirnya pengamen, anak jalanan, pengemis dan peminta-minta, telah memberikan efek negatif terhadap pembangunan ruang-ruang publik. Benarkah kondisi idealnya memang seperti demikian? Benarkah munculnya kelompok-kelompok marginal ini adalah salah satu akibat lepasnya kontrol pemerintah? Rasa-rasanya saya tidak pernah menyaksikan atau paling tidak jarang menemukan munculnya kelompok-kelompok marjinal tersebut saat kawasan sepanjang pesisir Pelabuhan Murhum ini belum direklamasi.
Konsep perkembangan kota dinegara-negara berkembang seperti Indonesia adalah serangkaian proses transformasi dari kota yang berkarakter tradisional-feodalistik menuju kota modern-kapitalistik. Dan pada kenyataannya, karakter sosio-kultural masyarakat kita belum siap dan belum mampu menterjemahkan proses ini. Salah satu ciri kota tradisional adalah munculnya kelompok-kelompok yang saling bertarung dan memperebutkan ruang dan kekuasaan. Kalau demikian, benar apa yang pernah dikemukakan oleh oleh JO Santoso, bahwa dalam perkembangannya kota-kota di Indonesia tidak mengenal ruang publik. Setiap ruang yang ada selalu menjadi perebutan antar kelompok, dan dalam hal ini, usaha pemerintah untuk tetap “netral” selalu sia-sia. Di sini adalah soal representasi. Kota terdiri dari ruang-ruang yang membedakan satu sama lain. Ruang glamor, ruang kumuh, ruang perempuan, ruang formal, dan ruang kelas menengah merupakan klasifikasi kultural atau pembagian spasial yang nyata di masyarakat (Barker, 2005:417). Ruang-ruang tersebut saling diperebutkan. Di sini terjadi tindakan menutup-nutupi atau menghilangkan ruang yang disebut kumuh, negatif dan informal.
Inilah salah satu bukti bahwa proses transformasi seperti yang dikemukakan diatas agak terhambat dikarenakan kita belum siap untuk melepas identitas kelompok dan lebih mengedepankan kebersamaan, konsensus dan menjadikan ruang publik sebagai ruang milik bersama.
Sudah saatnya kini setiap pemerintah daerah dan kota memperhatikan kondisi-kondisi kecil semacam ini. Mesti ada perubahan paradigma yang mendasar dari proses perencanaan tata ruang agar pada akhirnya tidak hanya mempercantik dan menempatkan sebuah ruang sesuai dengan kemampuan dan peruntukannya. Namun lebih dari itu, paradigma tersebut harus meperhatikan keseimbangan antara faktor tata bangunan dan potensi perubahan sosio-kultural masyarakat setempat. Satu catatan bahwa, secara umum hampir seluruh kota-kota di Indonesia masih menghadapi permasalahan kota yang sama. Arus urbanisasi yang relatif tinggi dari tahun ketahun menimbulkan berbagai permasalahan kota seperti pengangguran, kemiskinan, tingkat kriminalitas yang tinggi dan sebagainya. Dan hal ini selalu dengan mudahnya kita temui dalam ruang-ruang publik. Hal ini memang telah diprediksikan oleh para pakar. Point yang ingin digaris bawahi adalah konsep perencanaan fisik yang disusun demikian sempurna mesti bersifat fleksibel dan juga benar-benar menyentuh aspek sosial budaya masyarakat setempat. Jangan sampai proses pembangunan fisik tersebut malah menjadi bumerang dan mengakibatkan perubahan pola pikir dan kehidupan masyarakat kearah yang tidak menentu. Proses yang dalam istilah Sunardi sebagai “Advocacy planning” ini sangat diperlukan demi kepentingan masyarakat, dan sebagai penjaga keseimbangan agar konsep penataan ruang tetap berjalan diatas rel yang telah ditentukan.
Berangkat dari sekelumit permasalahan penataan ruang tersebut diatas, pada kenyataannya menunjukkan bahwa kota bukanlah sekedar tata kota. Disana ada berbagai integrasi persoalan seperti budaya, sosiologi dan berbagai persoalan lainnya yang menyatu dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Sudah saatnya memandang persoalan perkotaan secara komprehensif dan penuh kehati-hatian. Sampai hari ini Jakarta, Bandung, Surabaya dan berbagai kota besar lainnya belum juga tuntas menyelesaikan persoalan perkotaan yang kian hari kian bertambah kompleks. Seluruh kota-kota termasuk Kota Bau-Bau akan menghadapi persoalan yang sama jika kota-kota besar diatas tetap dijadikan rujukan dan kiblat bagi arah pembangunan perkotaan. Konsep pembangunan perkotaan tetap saja berada pada proses “trial and error”. Perlu pemikiran yang mendalam untuk memecahkan berbagai persoalan perkotaan. Akhirnya, ada baiknya upaya kembali untuk meredefinisi konsep modern seperti apa yang diamanatkan dalam tujuan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang Kota Bau-Bau. Sebuah proses yang panjang untuk dapat menentukan arah yang jelas dan tepat sasaran dari modern yang dimaksud. Jangan modern yang samar, pseudo makna atau sekedar pasrah terbawa arus globalisasi dan modernisasi yang salah kaprah.

Sumber:
Koestoer, R.H. 2001. Dimensi Keruangan Kota; Teori dan Kasus. Penerbit UI Press. Jakarta.
Santoso, JO. 2006. Menyiasati Kota Tanpa Warga. Penerbi CENTROPOLIS. Jakarta.
Syahreza, A. 2006. The Innocent Rebel; Sisi Aneh Orang Jakarta. Penerbit Gagas Media. Jakarta.
www.baubau.go.id

[+/-] Selengkapnya...

Kota, Sistem Kota dan Wilayah Belakangnya (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

Kota merupakan tempat bergabungnya berbagai hal dan merupakan kumpulan keanekaragaman banyak hal. Berbagai strata masyarakat bergabung dalam satu tempat yang sama, yakni kota. Begitu juga dengan kegiatan ekonomi. Begitu banyak kegiatan ekonomi saling melengkapi dan saling bergantung. Kota juga merupakan simbol dari kesejahteraan, kesempatan berusaha dan dominasi terhadap wilayah sekitarnya. Namun kota juga merupakan sumber polusi, kemiskinan dan perjuangan untuk berhasil. Gejala kota yang seperti ini telah terjadi sejak munculnya pusat-pusat permukiman yang kemudian dikenal sebagai kota. Saat ini, apa yang istimewa pada sebuah kota?

Pengaruh globalisasi adalah faktor utama yang membuat keadaan berbeda dari masa yang lampau. Globalisasi menyebabkan tekanan pada kota di suatu wilayah menjadi lebih keras daripada sebelumnya (Massey, Allen dan Pile, 1999). Dunia saat ini telah ‘tenggelam’ dan menyebabkan hanya dua hal yang muncul (Allen, Massey, dan Pryke, 1999). Yang pertama adalah jaringan aktivitas yang sifatnya mendunia. Sebagai contoh, sebuah perusahaan transnasional bisa memiliki jaringan produksi di berbagai negara, berlakunya nilai-nilai global yang berlaku di berbagai belahan dunia, dan juga penggunaan berbagai produk dunia yang diakibatkan oleh promosi yang gencar, seperti minuman Coca Cola dan produk Microsoft.

Yang kedua adalah lebih kerapnya kontak di antara berbagai tempat. Pada saat ini kegiatan di suatu tempat tidak dapat dipisahkan dari kejadian yang berlangsung di tempat yang lain. Peristiwa ditabraknya gedung WTC di New York menghancurkan harga saham di berbagai perusahaan, ledakan bom di kereta bawah tanah Kota London meningaktkan kesibukan seluruh petugas bandar udara di berbagai kota dunia, naiknya harga minyak bumi memperparah keadaan ekonomi negara yang masih sangat bergantung pada pasokan minyak bumi dari luar negeri, dan berbagai kejadian lain.



Kedua gejala ini sudah sangat nyata mempengaruhi kota-kota tua seperti London, Tokyo, Singapura, ataupun Jakarta. Di kota-kota tua, percampuran berbagai jenis kegiatan industri, kelompok sosial dan pergerakan manusia, serta barang dan informasi, sudah lama berlangsung dan telah menjadi karakteristik kota-kota tersebut. Namun gejala tersebut saat ini juga mulai nampak di kota-kota lain, yang bukan merupakan pusat pertumbuhan negara, seperti Bristol ataupun Semarang. Mengapa gejala ini juga berpengaruh pada kota-kota menengah?

Jaringan aktivitas yang mendunia dan kerapnya kontak dengan tempat-tempat lain merupakan gejala yang muncul. Gejala ini dalam bentuk tingginya perjalanan masuk dan ke luar tempat-tempat tersebut, adanya migrasi, menyebarnya informasi melalui televisi, dan promosi guna meningkatkan pola hidup konsumtif. Dengan kemajuan teknologi,
kota-kota menengah tidak dapat terlepas dari pengaruh berbagai media, baik elektronik maupun media cetak. Perjalanan antar tempat juga tidak mengalami kendala lagi. Teknologi transportasi saat ini telah mampu mengatasi jarak fisik antar tempat yang berjauhan. Bahkan komunikasi tidak perlu lagi dilakukan dalam bentuk tatap muka, tetapi secara maya.

HUBUNGAN DI DALAM KOTA
Hubungan Sosial dan Ekonomi
Apa yang bisa diceritakan dari Gambar di atas? Gedung tinggi yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta merupakan sebuah gedung perkantoran dengan kegiatan jasa sebagai kegiatan utama. Ratusan juta rupiah uang dikelola oleh perusahaan-perusahaan yang berada di gedung tersebut. Karyawan yang bekerja di gedung tersebut berpenghasilan tinggi, mencapai puluhan juta rupiah. Mereka makan di restoran mahal dengan sajian menu dari berbagai negara, bepergian ke mencanegara dengan menggunakan fasilitas perjalanan terbaik, tinggal di apartemen atau perumahan mewah di seputar Jakarta, serta bergaul hanya dengan teman-teman yang memiliki pola kehidupan yang serupa, baik yang ada di Indonesia maupun di negara lain. Sementara
itu di sisi gedung perkantoran tersebut terdapat bangunan sederhana dan tampak kumuh. Mereka yang tinggal di bangunan tersebut hidup dengan penghasilan yang hanya cukup

untuk makan, menu makanannyapun sangat sederhana dan hanya berfungsi untuk mengganjal perut. Mereka tidak pernah melakukan perjalanan jauh, tidak juga makan di restoran. Pergaulan mereka hanya seputar teman kerja dan tetangga di sekitar tempat tinggal.

Itulah kehidupan perkotaan. Mereka yang dekat di mata belum tentu menjadi teman dekat. Kehidupan yang bersisian tersebut tidak berarti mereka saling kenal, apalagi berteman. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan perkotaan memiliki berbagai bentuk yang bisa saling tidak saling bersinggungan.
Gambar diatas juga merupakan gambaran kehidupan di perkotaan. Kedua kelompok sosial masyarakat dalam gambar menampakkan hubungan yang ‘akrab’ dan sepertinya saling mengenal. Satu kelompok sosial adalah mereka yang berkecukupan dengan kehidupan yang sudah mapan. Sedang kelompok yang satu lagi adalah mereka yang berpenghasilan secukupnya dan tidak punya jaminan apapun bagi hidupnya. Kedua kelompok ini saling tergantung, yang satu membutuhkan yang lain. Tanpa kelompok yang berada, tidak akan tercipta kebutuhan pelayanan seperti yang dilakukan oleh kelompok sosial yang kedua. Sedangkan kelompok sosial yang pertama, walau berkecukupan secara ekonomi, tetapi tidak mungkin melakukan segala sesuatu sendiri. Karena saling membutuhkan inilah maka tercipta keakraban di antara mereka, walaupun sesungguhnya mereka tidak saling mengenal.

Dari contoh di atas, sesungguhnya ada tiga kunci suatu kota.

1. As sites of proximity and co-presence

2. As mix of space/times

3. As meeting places
Hubungan Secara Fisik

Sejak dahulu kala, hubungan antar bagian-bagian sudah dilakukan dengan menggunakan berbagai macam media fisik yang dikenal sebagai jalur. Jalur-jalur yang menjadi penghubung antar ruang di gedung-gedung dibentuk oleh selasar. Selasar ini dibatasi oleh pintu sehingga dapat dikatakan bahwa selasar adalah penghubung antar pintu Antara satu gedung dengan gedung yang lain dihubungkan dengan jalur jalan. Antar bagian kota dihubungkan, selain dengan jalur jalan pejalan kaki atau jalur mobil, dapat juga dihubungkan dengan jalur rel kereta. Penghubung antar bagian di dalam kota dilakukan melalui jalur pergerakan dalam berbagai bentuknya. Jalur-jalur tersebut memungkinkan komunikasi antar bagian di dalam gedung, di dalam kota, bahkan dengan tempat-tempat yang berjauhan. Hubungan fisik ini memudahkan hubungan antara tempat tinggal manusia, tempat bekerjanya, tempat rekreasi dan berbagai tempat dengan karakteristiknya masing-masing.

Dengan kemajuan teknologi, hubungan antar tempat tidak harus selalu dilakukan secara fisik. Hubungan antar individu atau antar lembaga dapat dilakukan dengan cara surat menyurat, atau berkomunikasi melalui telepon. Untuk mengetahui keadaan suatu tempat yang jauh, atau bahkan tempat yang kita tidak ketahui keberadaannya, kita dapat mengunjungi World Wide Web (www) yang dilakukan melalui internet. Layanan ini menyajikan halaman-halaman penuh informasi dalam berbagai bentuk seperti narasi, table, gambar, grafik, peta, maupun foto-foto. Informasi ini juga dapat dengan segera diperbaharui saat ada perubahan informasi. Dan untuk mendapatkan informasi tersebut kita tidak perlu mengenal atau berkomunikasi dua arah dengan sumbernya.
(BERSAMBUNG...)

[+/-] Selengkapnya...

I am mine..

My photo
bukanlah siapa-siapa.....

Arsip

Ikutan Yuk....

Stop Bugil
BlogFam Community
Indonesian Muslim Blogger

Tuker Link Yuk..

Tinta Perak Blog