Sekedar menumpahkan ide-ide yang mengendap dalam otak, nih ada artikel yang aku tulis dimuat dalam Kendari Ekspres On Line beberapa waktu yang lalu
DIMENSI HISTORI-SPASIAL KOTA BAU-BAU DALAM WACANA PROVINSI
Pada dasarnya kelahiran suatu kota adalah sebuah proses sejarah yang panjang dengan memperlihatkan perkembangan dan perubahan baik pada kondisi fisik maupun nonfisik. Perubahan fisik kota dapat dilihat pada bangunan dan perkampungan lama masyarakat, sementara perubahan nonfisik kota dapat dilihat pada perkembangan ekonomi dan politik masyarakat kota. Aktivitas ekonomi, budaya, politik, dan sosial pada masa lalu banyak dilakukan melalui laut sehingga menyebabkan kota berkembang di wilayah pantai dan pinggir sungai. Sejarah membuktikan bahwa perdagangan paling ramai dan mudah dilakukan adalah melalui sungai dan laut. Akibatnya muncul pemukiman-pemukiman di sekitar sungai dan pantai. Pemukiman itu pada perkembangannya berubah menjadi kota seiring dengan adanya interaksi antara penduduk asli dengan pendatang setelah melalui proses yang panjang. Hal ini dapat dilihat pada dinamika suku yang mendiami kota dengan kepentingan yang berbeda-beda. Adanya variasi jenis pekerjaan atau profesi di kota sebagai gejala kekotaan yang lebih kompleks.
Kota Bau-Bau seperti tertera pada judul artikel ini dimaksudkan penulis merujuk pada wilayah Kesultanan Buton yang berasosiasi langsung dengan Wolio sebagai pusat pemerintahan dan hubungannya dengan wilayah-wilayah disekitarnya dimasa lalu.
Belum banyak literatur tertulis yang mengulas secara rinci mengenai bagaimana sistem pembagian kekuasaan dalam dimensi geopilitik di zaman Kesultanan Buton. Salah satu literatur yang dapat dijadikan pedoman adalah kumpulan tulisan Pim Schoorl mengenai “Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton” yang ditulis dalam perspektif sejarah dan antoropologi. Mengenai gambaran konfigurasi kekuasaan secara geo-politik, Schoorl menuliskan “ Ekspansi pertama kerajaan Wolio dilancarkan melalui persekutuan dengan sembilan wilayah lain, yang dikenal sebagai Siolipuna. Keputusan kedua yang mengatur hubungan khusus dengan wilayah-wilayah kesultanan ialah keputusan mengenai Barata. Dapat kita bedakan empat barata: Muna (setidak-tidaknya bagian utara Pulau Muna), Tiworo (Bagian dari Muna Utara dan beberapa pulau dekat pantai), Kulingsusu (bagian utara Pulau Buton) dan Kaledupa (salah satu pulau dikepulauan tukang besi). Barata dianggap sebagai mata rantai sangat penting yang membuat -bahtera negara- kuat dan seimbang sehingga akan dapat berlayar dengan baik.”
Dalam literatur lain oleh Sejarahwan UGM Laode Rabani menuliskan sebagai berikut: “Perkembangan Bau-Bau (Buton) sebagai sebuah kota dapat dilihat ketika Buton menjadi ibukota Afdeeling Sulawesi Timur pada tahun 1911. Pada tahun 1915, Afdeling Buton dan Laiwui (Kendari) digabungkan dengan Bungku dan Mori yang dipusatkan di Buton sebagai ibukota Afdeeling Oost Celebes. Dampak langsung kebijakan ini adalah pembangunan dan perbaikan fasilitas kota berupa sarana pelabuhan dan jaringan jalan. Selain itu, pendirian asrama militer dan perumahan, air bersih, telepon, sekolah, serta fasilitas transportasi darat. Semua itu merupakan bagian dari politik ekonomi Belanda, karena pada kenyataanya pemerintah Hindia Belanda mengambil keuntungan dari semua fasilitas yang disediakan itu dalam bentuk pajak dan tenaga kerja.”
Dari kedua ulasan diatas dapat ditarik benang merah mengenai betapa penting dan vitalnya posisi Bau-Bau dari masa kemasa. Namun demikian, sejak pemisahan Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara menjadi 2 provinsi baru yakni Sulawesi Selatan dengan ibukota Ujung Pandang dan Sulawesi Tenggara dengan ibukota Kendari pada tahun 1959 serta tidak terpilihnya Bau-Bau (Buton) sebagai ibukota Provinsi menyebabkan laju pertumbuhan kota ini menjadi stagnan dan bergerak lambat. Selain posisi Bau-Bau yang disatu sisi sebagai Kota Administratif dan disisi yang lain sebagai ibukota Kabupaten Buton mengakibatkan dualisme kepemimpinan. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan Kota Bau-Bau (Buton) menjadi begitu lambat dan terkesan statis atau paling tidak sangat lambat bila dibandingkan dengan saat ini. Beruntung, berkat adanya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah pada tahun 2001 Bau-Bau dimekarkan dan dinaikkan statusnya menjadi Kotamadya sehingga memiliki wewenang otonom sendiri yang dibawahi oleh seorang walikota. Pada akhirnya, Kota Bau-Bau saat ini telah berkembang dengan begitu pesatnya. Pembangunan sarana dan prasarana serta infrastruktur kota dipacu sedemikian sehingga kota ini telah berubah wujud menjadi kota pantai (water front city) sebagai ciri khasnya. Disisi lain, kota ini juga sengaja didesain sebagai bakal calon ibukota provinsi Buton Raya yang saat ini sedang giat-giatnya dicanangkan pembentukannya.
Provinsi Buton Raya; Transformasi Spasial dan Historis?
Belakangan ini, konstalasi pemerintahan di Sulawesi Tenggara sedang mengalami dinamika dengan mencuatnya wacana pemekaran beberapa kabupaten di wilayah eks kesultanan Buton. Berita paling aktual mengenai hal ini bahwa draf RUU telah sampai kegedung DPR pusat dan siap untuk dikaji dan disahkan bersamaan dengan pemekaran Kabupaten Buton Tengah dan Buton Selatan. Tercatat beberapa momentum yang menjadikan riak-riak dalam upaya pemekaran khususnya pemekaran Buton Raya ini. Tentunya setelah beberapa persoalan intern mengenai wilayah Kabupaten mana saja yang akan ikut bergabung dalam provinsi baru tersebut terselesaikan. Pertama adalah pernyataan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada saat Silaturahmi KKST di Jakarta yang seakan-akan kurang mendukung pemekaran Buton Raya. Kedua, tindakan anarkis yang dilakukan para demonstran yang pro terhadap upaya pembentukan Provinsi Tapanuli (PROTAP) yang akhirnya berbuntut pada kematian Ketua DPRD Sumatra Utara. Belum lagi pernyataan Presiden SBY dimedia yang menekankan untuk mengurangi upaya pemekaran karena banyak menimbulkan konflik yang berujung pada tindakan anarkis. Namun demikian, semoga saja riak-riak tersebut tetap tidak menyurutkan langkah para penggagas dan konseptor Buton Raya untuk tetap maju memperjuangkan pembentukan Provinsi ini dengan dukungan penuh seluruh masyarakat.
Dari tinjauan spasial dan sejarah paling tidak upaya membangun gagasan pembentukan daerah otonom baru ini ditujukan untuk mengembalikan kejayaan Kesultanan Buton sebagai arkeologi kejayaan sejarah dimasa lalu.
Dalam sebuah artikelnya mengenai Masyarakat Buton, peneliti LIPI; Riwanto Tirtosudarmo menuliskan sebagai berikut, “Gagasan untuk membentuk Provinsi Buton Raya muncul kepermukaan bersamaan dengan euforia reformasi pasca-Soeharto (1998) para tokoh masyarakat dan elit politik yang berasal dari Buton telah memendam keinginan untuk bisa lepas dari pengaruh kekuasaan politik yang berpusat di Kendari. Ingatan kolektif yang masih kuat melekat tentang tidak terpilihnya Bau-Bau sebagai ibukota provinsi ketika Sulawesi Tenggara berdiri sendiri terlepas dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara yang beribukota di Makassar, merupakan dorongan yang kuat untuk suatu saat lepas dari pengaruh Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Para pemimpin Buton merasa bahwa Bau-Bau lah yang seharusnya menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara dan bukan Kendari, karena sesungguhnya Bau-Bau lah yang saat itu menjadi pusat perdagangan disamping pusat sejarah dan kebudayaan Buton. Kota Bau-Bau merupakan pusat dari Kesultanan Buton yang memiliki wilayah kekuasaan yang meliputi Pulau Buton, Pulau Muna, Kepulauan Tukang Besi dan sebagian daratan jasirah Sulawesi. Bagi para pemimpin dan tokoh masyarakat Buton mengembalikan kejayaan dan kewilayahan Kesultanan Buton merupakan impian lama yang merupakan ingatan kolektif yang sangat kuat dan dipelihara hingga saat ini. Adanya peninggalan bekas istana Sultan Buton beserta masjid yang sampai saat ini masih menjalankan tradisi dan ritual keagamaan Islam; merupakan bukti masih kuatnya identitas kolektif sebagai Orang Buton”.
Tampak dari tulisan tersebut, seolah-olah ada kaitan yang begitu kental antara aspek sejarah dalam upaya membangun gagasan pembentuan Provinsi Buton Raya. Dalam aspek historis dan spasial, seakan-akan terjadi transformasi dengan membangun sebuah mimpi romantisme masa lalu mengenai kejayaan Kesultanan Buton. Hal ini dapat dipahami, dengan berbagai upaya penyatuan beberapa wilayah eks kesultanan Buton tersebut dalam sebuah wadah provinsi. Faktanya, upaya ini menemui jalan buntu dengan runtuhnya harapan agar Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana ikut bergabung dalam wilayah provinsi baru tersebut karena secara teritorial kedua wilayah tersebut masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Buton pada masanya. Bahwa kenyataannya secara geopolitik tidak akan terjadi pengulangan sejarah sebagaimana upaya transformasi spasial dan sejarah yang diinginkan. Namun demikian, tekad telah bulat untuk tetap memisahkan diri dan membangun pemerintahan baru dengan Bau-Bau sebagai ibukota sekaligus juga sebagai simbol identitas kesultanan Buton.
Masyarakat Buton pada umumnya dan para elit lokal yang turut terlibat langsung tidak sedang bermain dadu dengan mempertaruhkan sejarah masa lalu sebagai tumbal. Persoalannya, sanggupkah sistem pemerintahan demokrasi modern seperti saat ini menterjemahkan sistem kesultanan yang dalam istilah Schoorl adalah negara muda (early state) dimasa lalu agar nantinya diperoleh resultan berupa kesejahteraan, kemakmuran masyarakat Buton? Hal ini lah yang perlu dibuktikan secara nyata oleh pemerintahan baru yang sebentar lagi akan segera terbentuk. Bukan sekedar gontok-gontokan memperebutkan posisi dan jabatan baru sehingga melupakan roh pembentukan provinsi itu sendiri. Kondisi geografis, topografi, morfologi, karakteristik sumberdaya alam dan seterusnya menunjukkan bahwa Buton dan sekitarnya adalah wilayah pesisir dan kepulauan yang membutuhkan pengelolaan dan penerapan kebijakan yang berbeda dengan wilayah lain di Sulawesi Tenggara pada umumnya. Dengan demikian, akan semakin memperkuat alasan bahwasannya sejarah kejayaan Kesultanan Buton dimasa lalu bukanlah sebab, melainkan adalah sebuah akibat mengapa Buton mestinya berdiri dalam sebuah tatanan masyarakat dalam kerangka sebuah daerah yang otonom.