Seperti biasa, untuk menghilangkan kejenuhan bekerja, saya dan beberapa kawan mengisi waktu untuk sekedar merokok sambil ngobrol tentang apa saja diarea smooking kantor menjelang pulang kerja. Suasana yang sudah lumrah dalam keseharian kami dikantor. Dalam beberapa hal, bagi sebagian orang merokok boleh jadi adalah kebiasaan buruk dan sangat berpotensi merusak kesehatan. Bagaimana sebetulnya posisi rokok dikalangan masyarakat Indonesia? Mengapa pula larangan merokok yang semakin gencar tetap diimbangi oleh penjualan produk-produk rokok yang semakin menggila?
Saat itu, sambil menikmati segelas kopi panas diam-diam saya memperhatikan sebaris kalimat yang tertera dibungkus rokok Sampoerna - A Mild kegemaran saya. " Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin", jelas sekali kalimat itu tertulis. Formasi huruf serba kapital, seolah-olah menandakan bahwa kalimat tersebut adalah peringatan keras yang ditujukan kepada para perokok. Singkatnya maksud kalimat tersebut adalah berhentilah merokok karena dapat merusak kesehatan. Berbagai kampanye anti rokok, dilakukan oleh pemerintah dan kalangan LSM anti tembakau. Tetapi anehnya peringatan keras tersebut tiba-tiba menjadi lunak ketika persoalan rokok dilihat dari sisi ekonomi. Lalu apa yang harus dikedepankan dalam hal ini? Pikirku dalam hati. Dua kepentingan yang berada pada posisi berhadap-hadapan dan saling bertentangan. Pertarungan dua argumen yang saling berseberangan. Dan bahkan mungkin ini adalah sebuah kebingungan untuk lebih mendahulukan antara pelarangan merokok untuk kesehatan ataukah menggenjot devisa negara dari sektor cukai rokok. Bayangkan saja rokok menyumbang pendapatan negara sebesar 13,3 triliun pada tahun 2000 (GRAPINDO,2001), devisa sebesar Rp. 22 miliar dan menyerap sekitar 12-13 juta tenaga kerja. Tidak mengherankan kalau kemudian berbagai stratergi pemasaran diterapkan oleh para produsen untuk menambah pasar penjualan produk mereka. Paling gencar adalah pagelaran musik dan berbagai kegiatan amal lainnya yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan produsen rokok. Tujuannya? Jelas untuk membidik pasar dikalangan anak muda. Belum lagi iklan produk-produk rokok yang semakin dahsyat dengan menampilkan berbagai ide yang kreatif.
Tarik menarik antara dua kepentingan yang sampai saat ini tidak jelas. Lalu bagaimana dengan kita masyarakat? Masyarakat akhirnya dibuat bingung oleh keadaan. Dampak yang terjadi pun kemudian memisahkan masyarakat dalam dua kelompok besar, kelompok yang pro dan yang kontra terhadap adanya rokok. Kelompok yang pro seolah-olah masa bodoh dan bahkan tidak mau tau dengan keadaan disekitarnya. Mereka ini umumnya adalah orang-orang yang sudah kecanduan hingga kemudian menempatkan rokok sebagai kebutuhan hidup. Mereka sudah kebal pula terhadap berbagai larangan dan peringatan akan bahaya tembakau. Mereka mempunyai beribu alasan untuk tetap merokok.
Berseberangan dengan golongan ini, ada kelompok yang kontra dengan yang namanya rokok. Faktor kesehatan adalah penyebab utama. Saya masih ingat dengan salah satu teman saya yang setiap kali melewati tempat kami melakukan ritual merokok berjamaah menutup hidungnya serapat mungkin agar saluran pernapasannya tidak terkena sedikitpun asap rokok yang kami hembuskan. Mungkin dia juga lupa. Seharusnya bukan hanya perokok yang ia benci. Tapi setiap pengendara kendaraan apapun dijalanan sepanjang ia menggunakan bbm mesti ia benci. Kalau dipikir-pikir sepanjang jalan dia harus menutup hidung serapat-rapatnya atau melupakan saja kegiatan bernapas. Karena disepanjang jalan raya pastilah terdapat berjuta-juta partikel asap kendaraan yang tidak kalah bahayanya dengan asap rokok. Berbagai kampanye anti madat dilakukan. Bahkan agamapun diseret untuk memvonis para perokok adalah pendosa. Bagaimana dengan para pemuka agama yang juga tidak sedikit jumlahnya adalah perokok berat?
Saya adalah termasuk perokok. Bukan karena saya terlahir dari keluarga yang menjadikan rokok sebagai budaya tetapi lebih dari itu saya juga punya alasan sendiri mengapa saya merokok. Namun meskipun demikian saya tetap tidak mau memposisikan diri sebagai bagian diantara dua kelompok yang bertentangan diatas. Saya lebih senang menyebut diri saya sebagai korban dari kebingungan pemerintah seperti yang saya sebutkan diatas. Toh, kalau saja pemerintah konsisten kepada satu pilihan maka akan mudah saja. Tinggal menghentikan perdagangan tembakau, menutup pabrik-pabrik rokok diseluruh Indonesia dan menyelenggarakan theraphy massal bagi para pecandu rokok serta menerapkan hukum yang tegas untuk pelarangan merokok. Atau pilihan yang kedua memproduksi rokok sebanyak-banyaknya dan menghilangkan segala macam peringatan dan larangan terhadap rokok.
Rokok adalah sebuah fenomena, begitu kesimpulan saya. Fenomena yang tidak kunjung selesai sampai detik ini. Kalau begitu saya sudahi saja essay ini dengan penuh tanda tanya didalam hati.
- Jika saja Chairil Anwar tidak merokok mungkin dia tidak akan menjadi sastrawan besar seperti yang kita kenal. Lihat saja posenya yang terkenal dengan sebatang rokok terselip dibibirnya.
- Mungkin akan lebih adil ketika kalimat peringatan diatas saya tambahkan: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin. Tetapi tidak merokok akan merugikan pemerintah dan mem-PHK jutaan rakyat kecil”. Impas bukan?
Pagiii... sorryy ane baru mampir kemarin kompi lg dateng manjanya.... topiknya menarik bang... pro kontra memang harus ada bang... success ya bang....
ReplyDeletewah salut analisa dan kritik yg bagus. Salut buat bung, keep writing ya :)
ReplyDelete